Konflik adalah suatu bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi, yang terpisahkan karena perbedaan ciri-ciri suatu individu dalam suatu interaksi dan karena berbagai pengaruh, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Perbedaan cirri-ciri yang dimaksud disini adalah perbedaan ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah konflik yaitu:
- Perbedaan individu, yaitu perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, karena setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal akan menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan atau sepemikiran dengan kelompoknya.
- Perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Maka dari itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi tujuannya berbeda-beda. Misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini terlihat bahawa ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada postingan kali ini yang akan saya bahas adalah konflik dalam sebuah rumah tangga. Rumah tangga terbentuk karena adanya sepasang suami istri. Suami isteri mempunyai perbedaan. Tidak bisa terjadi kehidupan rumah tangga kalau semuanya sama. Kalau sepasang sepatu tapi dua-duanya kanan, tidak akan bisa digunakan bukan? Harus ada yang kanan dan harus ada yang kiri. Sepatu kanan harus dipasang di kaki kanan jangan di kaki kiri, begitu juga sebaliknya. Begitu pula dengan pasangan suami isteri, kalau laki-laki jadi perempuan akan kacau. Si isteri ingin berperan sebagai suami, bisa kacau rumah tangga tersebut. Jika si suami ingin A sedangkan si isteri ingin B, maka diusahakan untuk disatukan keinginan, tapi kalau tidak bisa, tidak boleh ada yang berusaha untuk memaksakan satu sama lain. Itu bukan cinta namanya. Suami isteri harus bermusyawarah dalam segala urusan.
Dua orang yang hidup dididik dalam satu rumah, oleh ayah dan ibu yang sama, bisa berbeda keinginan, apalagi dua orang yang berasal dari rumah yang berbeda. Bisa terjadi konflik kalau tidak bermusyawarah. Musyawarah tidak berjalan dengan baik kalau perbedaan pendidikan yang jauh, juga kalau punya pandangan hidup yang berbeda.
Akibat dari konflik yang tidak diselesaikan secara baik-baik itu akan terjadi sebuah pengambilan keputusan yang didasari atas emosi kedua belah pihak, yaitu Perceraian. Perceraian dalam sebuah pernikahan tidak bisa dilepaskan dari pengaruhnya terhadap anak. Misalnya perubahan usia anak dan tahap perkembangan anak, konflik yang terjadi setelah perceraian, jenis kelamin anak dan gaya pengasuhan orangtua setelah bercerai. Kesemua hal itu dapat menggambarkan bagaimana dampak yang diberikan akibat perceraian terhadap perkembangan anak pada saat itu dan masa yang akan datang.
Banyak perpisahan dan perceraian merupakan urusan yang sangat emosional yang menenggelamkan anak ke dalam konflik. Misalnya, keluarga yang bercerai dengan koflik relatif rendah lebih baik dari pada keluarga yang utuh tetapi dengan konflik relatif tinggi. Pada tahun setelah perceraian konflik tidak berkurang tetapi bisa akan terus bertambah. Pada saat ini, anak laki laki dari keluarga bercerai memperlihatkan lebih banyak masalah penyesuaian dari pada anak anak dari keluarga utuh yang orangtuanya ada.
Selama tahun pertama setelah perceraian, kualitas pengasuhan yang dilakukan orangtua seringkali buruk. Orangtua lebih sering sibuk dengan kebutuhan kebutuhan dan penyesuaian diri sendiri seperti mengalami depresi, kebingungan dan instabilitas emosional. Selama tahun kedua setelah perceraian, orangtua lebih efektif dalam mnegerjakan tugas tugas pengasuhan anak, khususnya anak perempuan.
Strategi dari penyelesaian konflik ini adalah:
· Kalah – kalah, kedua belah pihak sama sama mengalah demi kebaikan anak mereka
· Menang – kalah, pihak istri mendapat hak asuh anak namun pihak suami tidak di izinkan mendapatkan hak asuh anak
· Menang – menang, kedua belah pihak sama-sama mendapat hak asuh anak.
Dalam kehidupan ini pasti terjadi konflik dan setiap konflik pasti ada jalan untuk menyelesaikannya. Strategi utama adalah introspeksi diri dan musyawarah. Nah sekarang tergantung pada individunya. Alangkah indahnya hidup ini apabila suatu konflik bisa cepat terselesaikan dan hidup dengan damai.