Siapa tak kenal dengan kain songket? Kain khas Minangkabau ini benar-benar memukau setiap mata yang memandang. Selain warna benang yang indah, tenunannya pun sangat rumit. Diperlukan keahlian tinggi untuk membuat kain songket. Beruntunglah keahlian membuat kain songket ini tak hilang begitu saja, karena masih ada orang Minang yang mewariskannya. Jelas, keahlian ini perlu dilestarikan agar tak lenyap dimakan waktu.
Kini, kita dapat melihat proses pembuatan kain songket di tempat aslinya. Contohnya seperti terdapat di suatu kampung di daerah Padang Panjang. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian menenun songket. Kampung ini dikenal sebagai Pandai Sikek, Kabupaten Tana Datar, Kecamatan Sepuluh Koto, Desa Koto Baru. Lokasi kampung tak sulit ditemui.
Kain songket terdiri dari tiga jenis, yaitu benang satu, dua, dan empat. Harganya pun jauh berbeda. Benang satu jauh lebih mahal dibanding benang dua dan empat, karena waktu yang diperlukan untuk menenunnya lebih lama. Tak hanya itu, membuat songket jenis benang satu ini diperlukan ketelitian yang tinggi karena dalam proses menenunnya, benang harus helai demi helai. Sedangkan untuk benang dua, kira-kira perlu tiga minggu proses penenunan dan benang empat cukup dua pekan.
Motif kain songket disebut juga cukie bagi penenun di Pandai Sikek. Artinya, sebuah pola yang mengisi bagian-bagian dari kain. Misalnya, cukie tertentu dipilih untuk badan kain, cukie lainnya untuk kepala kain dan beberapa motif yang lazim dipergunakan. Tapi untuk pola pinggir kain dan beberapa motif lainnya, lazim digunakan biteh yang membatasi antara beberapa motif.
Menurut catatan literatur, di sekitar daerah Padang Panjang dahulu para wanita menenun dan memakai pakaian adat yang ditenun serta dihiasi benang emas. Kain tenun tersebut memiliki motif halus dan punya nama yang spesifik, nama-nama motif itu memang dikenal sampai sekarang di Pandai Sikek meski sebagaian mengalami sedikit modifikasi atau penyederhanaan nama, misalnya Cukie barantai, Cukie bakaluak, Cukie Bungo Tanjung, Cukie kaluak paku, Cukie barayam pucuk rabung, Cukie barayam tali-tali burung, Cukie kaluak, Lintadu bapatah dan Cukie bugis barantai.
Melihat keindahan kain ini sudah sepantasnya budaya menenun dilestarikan. Bukan apa-apa, saat ini muncul keluhan, anak-anak zaman sekarang jarang ada yang mau jadi penenun kain. Kalaupun ada, maunya yang mudah saja dan cepat selesai. Padahal, menenun kain songket harus sabar, teliti, dan tekun. Kalau tidak, maka benang akan putus yang akhirnya bisa menurunkan kualitas kain. Kesabaran inilah yang tidak dipunyai anak muda masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar